Seperti yang dilansir Washington Post pada 29 Januari 2017, sebuah
unggahan oleh simpatisan ISIS di Twitter mengatakan kebijakan presiden
Donald Trump melarang warga dari tujuh negara mayoritas muslim
berkunjung ke AS selama 90 hari akan memudahkan kelompok teroris itu
untuk merayu muslim AS untuk berpihak pada ekstrimis.
Unggahan lain bahkan meramalkan kebijakan Donald Trump itu segera meluncurkan perang baru di Timur Tengah.
Menurut para pendukung ISIS tersebut, larangan Donald Trump sama dengan
perintah untuk menginvasi Irak pada 2003, yakni dapat menyatukan seluruh
umat muslim di dunia agar bersatu melawan Barat.
"Pemimpin
ISIS Abu Bakar al-Baghdadi telah mengumumkan bahwa laranganTrump adalah
sebuah berkah. Itu akan membakar semangat anti Barat oleh seluruh umat
Islam," tulis seorang pendukung ISIS di Telegram.
Beberapa
unggahan lainnya juga menyebutkan bahwa perintah eksekutif Trump telah
memenuhi prediksi Anwar al-Awlaki, pria muslim yang lahir di AS dan
kemudian membelot dan menjadi salah satu pemimpin al-Qaeda. Dia pernah
mengatakan bahwa Barat akhirnya akan berbalik melawan warga Muslim.
Awlaki tewas dalam serangan pesawat tak berawak AS di Yaman pada tahun
2011.
Unggahan lainnya pada Telegram mengatakan bahwa tindakan
Trump jelas mengungkapkan kebenaran dan kebencian pemerintah Amerika
Srikat terhadap Muslim.
Para pemimpin ISIS sering berbicara
tentang niatnya untuk membuat perpecahan antara pemerintah negara Barat
dengan penduduknya yang beragama Islam. ISIS pernah menguraikan niatnya
tersebut dalam majalah ekstrimis, Dabiq edisi bahasa Inggris pada 2015,
dengan mengatakan bahwa motivasi untuk meluncurkan serangan teroris di
Eropa adalah untuk memprovokasi reaksi antimuslim. Dengan begitu akan
mempermudah warga muslim untuk diajak bergabung dalam kelompok teroris.
Sebelumnya Senator John McCain telah mengecam kebijakan Trump tersebut
karena dianggap akan melemahkan perang global melawan terorisme.
"Efeknya mungkin akan memberikan ISIS bahan untuk melakukan propaganda," kata McCain.
Donald Trump pekan lalu mengeluarkan perintah eksekutif kontroversial
yang melarang kunjungan penduduk dari tujuh negara mayoritas Muslim,
yakni Iran, Irak, Libya, Sudan, Yaman, Suriah dan Somalia.
WASHINGTON POST|YON DEMA